Sifat Qudrah: Kuasa Sempurna
KEMAHAKUASAAN TANPA BATAS
(Kajian #AWAramadhan18 ke 11: Sifat Qadirun bi-qudrah)
Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Salah satu sifat yang pasti dimiliki oleh Tuhan adalah kemahakuasaan atau kemahamampuan. Semua orang yang bertuhan akan meyakini bahwa Tuhan itu Maha Hebat, Maha Kuat, Maha Mampu melakukan hal-hal yang luar biasa. Ini adalah salah satu sifat yang tidak diragukan lagi pasti (wajib) dimiliki Tuhan. Mustahil Tuhan memiliki sifat lemah sebab lemah merupakan sifat kekurangan. Sosok yang masih memiliki sifat lemah pastilah bukan Tuhan. Karena sifat ini bukanlah hal yang keberadaannya masih debatable, maka saya takkan panjang lebar menetapkannya lagi. Namun saya akan panjang lebar menjelaskan hal lain yang berkaitan dengannya.
Sebelum kita membahas tentang perincian sifat Keuasaan Tuhan ini, saya ingin membahas tentang persoalan pokok yang membedakan antara Ahlussunnah wal Jama'ah dengan para Jahmiyah-Muktazilah. Dari persoalan pokok inilah seluruh bahasan sifat selanjutnya berkembang. Bila enam sifat yang kita bahas sebelumnya (wujud, qidam, baqa', mukhalafah lil hawadits, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyah) adalah kebenaran rasional yang juga diakui oleh para Jahmiyah-Muktazilah, maka pada pembahasan sifat qudrah ini dan sifat-sifat selanjutnya tidak demikian. Jahmiyah-Muktazilah berbeda pendapat secara tajam dengan Ahlusunnah tentang apakah Allah itu mempunyai sifat khusus ataukah hanya ada Dzat Allah yang maha hebat saja tanpa ada sifat?
Agar mudah, langsung saja kita bahas sifat kekuasaan Allah dan bagaimana perbedaan antara Ahlussunnah dan para Jahmiyah-Muktazilah dalam menyikapinya. Seluruh sifat lainnya seperti kehendak (iradah), sama' (pendengaran), bashar (penglihatan), kalam (firman) dan lain-lain disikapi secara sama.
Bila kita melihat al-Qur'an, maka kita dapati puluhan kali Allah menegaskan tentang diri-Nya sendiri:
إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ [الأنعام: 65]
"Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Kuasa".
Seluruh ayat yang menegaskan kemahakuasaan Allah memakai redaksi kata قدير atau redaksi قادر. Kedua redaksi ini dalam bahasa arab digunakan untuk menunjukkan makna pelaku (isim fa'il), arti keduanya adalah: Dzat Yang Maha Kuasa. Jadi, yang ditetapkan dalam al-Quran adalah status Allah sebagai sosok Yang Maha Kuasa (Qadir). Status Qadir bagi Allah ini diakui oleh semua pihak, bahkan oleh orang-orang yang menafikan adanya sifat Allah (Jahmiyah-Muktazilah) sebab ini yang disebutkan secara jelas oleh Allah. Siapa yang mengingkari sifat Qadir ini bukan hanya akalnya bermasalah tetapi juga kafir.
Sekarang pertanyaannya, setelah diakui bahwa Allah berstatus Qadir (Dzat Yang Maha Kuasa), maka apakah Allah juga punya sifat qudrah (kekuasaan)? Di poin inilah kaum muslimin berbeda pendapat:
Para Jahmiyah-Muktazilah mengatakan bahwa Allah itu Maha Kuasa (qadir) tetapi tak punya sifat tambahan yang berupa kekuasaan (qudrah). Sikap mereka ini aneh sebab sama dengan mengatakan bahwa Zaid adalah seorang guru tetapi tanpa kemampuan mengajar dan Umar adalah hakim tanpa kemampuan menghakimi. Bagi mereka, yang ada hanyalah Dzat Allah saja yang mandiri tanpa embel-embel sifat apapun. Dzat Allah Maha Berkuasa tanpa embel-embel sifat kekuasaan, Dzat Allah Maha Mengetahui tanpa embel-embel sifat pengetahuan, Dzat Allah Maha Melihat tanpa embel-embel sifat penglihatan. Demikianlah inti akidah mereka yang menolak adanya seluruh sifat tetapi hanya menetapkan adanya Dzat saja. Karena penafian akan sifat Allah itulah, maka mereka diberi label sebagai Mu'atthilah (Orang-orang yang mengosongkan sifat Tuhan).
Adapun Ahlusunnah Wal Jama'ah (yang mayoritas diwakili oleh Asy'ariyah-Maturidiyah) menentang keras penafian itu. Bagi Ahlussunnah, ada tiga hal yang wujud tentang Tuhan, yakni: (1) Dzat Tuhan itu sendiri, (2) nama-nama Tuhan dan (3) sifat-sifat Tuhan. Dzat Tuhan bisa diketahui keberadaannya dari akal sedangkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dapat diketahui selengkapnya dari wahyu sebab akal hanya mampu menjangkau 20 sifat saja yang pasti ada (wajib) beserat 20 sifat yang mustahil ada sebagai kebalikannya dan satu sifat lagi yang bisa ada dan bisa tidak (ja'iz).
Karena menetapkan adanya sifat bagi Tuhan, maka Ahlussunnah dikenal sebagai Ahlul Itsbat (para penetap sifat Tuhan). Golongan Mu'atthilah tak tinggal diam dengan ini, mereka membalas para Ahlul Itsbat dengan melabeli mereka sebagai Hasyawiyah (para pengisi kekosongan), maksudnya orang yang mengada-ada menetapkan sifat yang sejatinya tidak ada.
Jadi, istilah Mu'atthilah atau Hasyawiyah tak lebih dari sekedar label negatif yang disematkan oleh pihak lawan. Label ini sama seperti label teroris, ekstrimis, liberal dan sebagainya yang biasa disematkan oleh seseorang yang tak sependapat terhadap orang lain. Pada hakikatnya, semua label ini tidaklah berharga secara ilmiah sebab kebenarannya sangat subjektif. Teroris bagi satu kelompok bisa dianggap pahlawan bagi kelompok lain, ektrimis bagi satu kelompok bisa dianggap tegas bagi kelompok lain, liberal bagi satu kelompok bisa dianggap luwes bagi kelompok lain. Dalam pembahasan akidah, perang label ini mudah sekali terjadi bahkan sulit dihindari sebab terjadi perebutan identitas.
Namun meskipun label itu tidak selalu menunjukkan kebenaran, tapi secara objektif kita tetap bisa meklasifikasi dua kelompok tentang sifat, yaitu: penetap sifat (ahlul itsbat) dan peniada sifat (ahlun nafyi/mu'atthilah). Ahlussunnah wal jama'ah selaku mayoritas umat islam adalah ahlul itsbat yang menganggap sesat para penafi sifat Tuhan. Kenapa para penafi sifat itu dinilai sesat? Sebab ada begitu banyak teks al-Qur'an dan hadis yang berbicara tentang sifat Allah, bahwa Allah bersifat begini dan begitu. Menafikan itu semua sama saja mengingkari kebenaran wahyu.
Sekarang, kita kembali pada bahasan sifat Qudrah. Keberadaan sifat Qudrah yang menjadi atribut bagi Dzat Allah ini dapat dilihat dari berbagai bukti berikut:
1. Adanya ayat yang secara langsung menyebut qudrah Allah, bukan hanya Dzat Allah semata, yaitu:
مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ [الحج: 74]
"Mereka tidak mampu mengetahui kekuasan Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa"
2. Adanya ayat yang menyebutkan kemustahilan sifat lemah. Bila sifat lemah mustahil adanya, maka secara rasional berarti ada sifat kuasa/mampu. Ayat tersebut adalah:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا [فاطر:44]
"Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa".
3. Adanya ayat yang menyebutkan bahwa Dzat Allah punya kekuatan yang sangat kokoh, yakni ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ [الذَّارِيَاتِ: 58]. Ini membuktikan bahwa selain Dzat Allah, ada juga sifat kekuatan yang dimiliki oleh Dzat tersebut.
4. Dalam ayat atau hadis ada berbagai redaksi sifat lain yang menunjukkan adanya sifat Qudrah, yaitu:
-sifat الْقَاهِرُ bermakna Yang Maha Berkuasa Mutlak
-sifat الْقَهَّارُ bermakna Yang Maha Tak Terkalahkan
-sifat الْقَوِيُّ bermakna Yang Maha Kuat
-sifat الْقَادِرُ bermakna Yang Maha Kuasa
-sifat الْغَلَّابُ bermakna Yang Mutlak Terjadi Kehendaknya
Semua redaksi ini menunjukkah adanya sifat utama bagi Allah yang bernama Qudrah atau berkuasa mutlak)
5. Status Dzat Allah sebagai Qadir (Yang Maha Berkuasa) dengan sendirinya sudah menunjukkan adanya Qudrah (Kekuasaan). Ini sudah merupakan konsekuensi logis. Ketika kita menyatakan Zaid adalah supir, maka secara tak langsung kita berkata bahwa Zaid punya sifat berupa kemampuan menyupir. Ketika kita menyatakan Zaid adalah penjahit, maka secara tak langsung kita berkata bahwa Zaid punya sifat berupa kemampuan menjahit. Demikian juga ketika kita menyatakan bahwa Allah itu berstatus sebagai Qadir, maka secara tak langsung kita menyatakan bahwa Allah itu punya Qudrah.
Seluruh bukti itu menunjukkan adanya sifat qudrah, di samping adanya Dzat yang memakai sifat itu sehingga disebut sebagai Qadir. Dalam istilah para ahli kalam, Qudrah ini disebut sebagai sifat makna sedangkan Qadir disebut sebagai sifat maknawiyah. Dengan gambaran yang lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa:
1. Ada sifat Kekuasaan (Qudrah) yang pasti dimiliki Allah. Mustahil Allah tidak memiliki ini sebab ketiadaan sifat ini berarti kekurangan. Sifat ini disebut makna.
2. Ada status Allah ketika memakai sifat kekuasaan ini, yakni status Yang Maha Kuasa (Qadir). Mustahil Allah tidak berstatus sebagai Qadir sebab Ia senantiasa punya Qudrah. Status ini disebut maknawiyah.
Jadi, antara sifat makna dan maknawiyah ada keniscayaan yang tak mungkin terpisah. Keberadaan sifat makna adalah asal bagi keberadaan sifat maknawiyah sedangkan sifat maknawiyah adalah kondisi (ahwal) ketika Dzat Allah memakai sifat makna.
Karena sejatinya sifat maknawiyah adalah status atau kondisi (ahwal) yang menggambarkan adanya sifat makna, maka para ulama Asy'ariyah klasik tidak menetapkan keberadaan sifat maknawiyah ini sebagai sifat yang independen. Mereka hanya mewajibkan adanya sifat makna saja dan itu sudah dengan sendirinya menetapkan sifat maknawiyah.
Kesimpulannya, menurut ulama klasik sifat wajib Allah itu ada 13 saja, yakni: satu sifat nafsiyah (Wujud), lima sifat salbiyah (Qidam, baqa', mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah) dan tujuh sifat makna atau disebut juga ma'ani (qudrah, iradah, ilmu, hayah, sama', bashar, kalam). Adapun menurut Imam Abu Hasan al-Asy'ari sendiri dan beberapa tokoh, sifat wajib Allah hanyalah 12 saja sebab beliau tidak menyebut wujud sebagai sebuah sifat. Adapun menurut ulama muta'akhhirin, sifat wajib itu ada 20 dengan tambahan sifat maknawiyah yang juga tujuh (qadir, murid, 'alim, hayyun, sami', bashir, mutakallim). Perbedaan ini menjadi bukti bahwa dalam mazhab Asy'ariyah tidak ada ceritanya membebek dan bertaqlid buta.
Bila dilihat secara objektif, penetapan tujuh sifat maknawiyah ini adalah penting sebab sebagai tanda bahwa sifat makna bukan hanya sebuah potensi tetapi betul-betul sebagai sebuah sifat yang selalu melekat dan digunakan oleh Dzat Allah. Penetapan ini menjadi urgen tatkala menghadapi para mujassimah yang meyakini bahwa beberapa sifat Allah itu kadang ada dan kadang juga tidak ada (tidak dipakai). Sifat kalam misalnya, Allah diyakini punya sifat berupa firman (kalam) tetapi menurut para mujassimah Allah tak selalu berfirman (mutakallim) melainkan kadang diam, sama seperti manusia yang kadang bicara dan kadang tidak. Masalah ini insya Allah akan kita bahas secara rinci di bab sifat kalam.
Sekarang, setelah kita yakin bahwa Allah itu Qadir (Maha Kuasa) dengan sifat qudrah (Kemahakuasaan)-Nya, lalu pertanyaannya: Seberapa kuasa Allah itu? Adakah batasannya? Adakah hal yang tak bisa Allah lakukan?
Ahlussunnah Wal Jama'ah secara aklamasi mengatakan bahwa kekuasaan Allah itu mutlak dan tak terbatas. Kemutlakan dan ketiadaan batasan bagi kekuasaan Allah itu dengan sempurna menafikan seluruh potensi kelemahan. Jangankan kelemahan itu sendiri, potensi untuk lemah saja tidak ada. Anda dan saya sekarang ini bersifat hidup, sehat dan kuat tetapi kita semua sebagai makhluk punya potensi untuk mati, sakit dan lemah. Sedangkan Allah sudah maha sempurna dengan seluruh sifatnya sehingga seluruh potensi untuk kelemahan sama sekali tak ada.
Sebab kesempurnaan sifat qudrah ini, maka menjadi tidak relevan ketika ada yang bertanya hal-hal konyol sebagai berikut ini:
- Apakah Allah mampu membuat benda yang sedemikian besarnya hingga Allah tak mampu mengangkatnya? Ini pertanyaan tidak relevan sebab dengan qudrah yang sempurna Allah pasti bisa mengangkat benda sebesar apapun tanpa ada batasan.
- Apakah Allah mampu membuat dirinya mati? Ini juga konyol sebab keberadaan Allah yang kekal tak mungkin dibatasi dengan kematian.
- Apakah Allah mampu punya anak? Ini juga pertanyaan tak kalah konyolnya sebab kemampuan untuk punya anak adalah kelemahan sebab itu tanda kebaruan (huduts) yang mustahil dimiliki Tuhan. Mustahil Allah punya potensi untuk lemah.
- Apakah Allah mampu membuat dirinya menjadi dua atau membuat Allah lainnya? Ini pertanyaan paling bodoh di dunia sebab kesempurnaan Allah dalam sifat keesaan adalah hal yang mutlak tanpa bisa ditawar.
Seluruh hal-hal yang tak mungkin terjadi seperti di atas bukan tak terjadi karena Allah tak mampu tetapi karena kemampuan Allah yang sangat sempurna menjadikannya mustahil untuk bersifat tak sempurna. Kemampuan Allah untuk selalu bersifat dengan sifat ketuhanan yang agung dan mulia menjadikannya mustahil untuk bersifat dengan sifat-sifat yang cacat, remeh, hina seperti sifat huduts. Pertanyaan seperti di atas sama konyolnya dengan pertanyaan "mampukah matahari mengeluarkan sinar gelap?" atau "mampukah api mengeluarkan panas yang membekukan?".
Ibnu Hazm adalah satu di antara tokoh hebat yang gagal paham soal ini. Dia mengatakan Allah bisa punya anak bila menghendakinya. Dia tak sadar bahwa potensi untuk punya anak adalah cacat bagi sifat ketuhanan sebab yang bisa punya anak pasti mengalami perubahan. Yang mengalami perubahan pastilah bukan Tuhan. Ibnu Taymiyah di sisi lain menyetujui Utsman bin Sa'id ad-Darimy yang berkata bahwa Allah mampu istawa di atas punggung lalat. Mereka berdua tak sadar bahwa kemampuan untuk hinggap dan bertengger di atas punggung lalat itu adalah kemampuan khas makhluk (muhdats) yang otomatis menjadi cacat bagi sifat ketuhanan. Kalau kemampuan menjadi remeh-temeh dan cacat ini dimiliki oleh sosok yang dianggap Tuhan, maka bisa dipastikan dia bukanlah Tuhan yang sejati. Tuhan kok punya kemampuan untuk lemah?
Para ateis di sisi lain juga gagal paham akut sehingga memunculkan argumen andalan mereka yang disebut Trilemma Epicurus. Argumen mereka ini berkaitan dengan sifat Qurdah dan Iradah. Hal ini akan kita bahas di bahasan sifat selanjutnya tentang iradah.
Semoga bermanfaat.