Apa Makna Hadist : Iman itu Kembali ke Madinah?
Pengertian "Iman itu kembali ke Madinah" sebagaimana ular kembali ke sarangnya adalah KERINDUAN untuk mendatangi Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW. bersabda,
إِنَّ الإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى المَدِينَةِ، كَمَا تَأْرِزُ الحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا.
“Sesungguhnya iman itu kembali ke al-Madinah al-Munawaroh, sebagaimana ular kembali ke sarangnya.”
Al Imam Al Hafizh an Nawawi, dalam syarah shahih Muslim memaknai hadits tersebut sebagai berikut:
ذكره النووي في شرح صحيح مسلم، وعبارته: وقوله: الإيمان يَأْرِزُ إِلَى الْمَدِينَةِ، مَعْنَاهُ أَنَّ الْإِيمَانَ أَوَّلًا وَآخِرًا بِهَذِهِ الصِّفَةِ؛ لِأَنَّهُ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ كَانَ كُلُّ مَنْ خَلَصَ إِيمَانُهُ وَصَحَّ إِسْلَامُهُ، أَتَى الْمَدِينَةَ إِمَّا مُهَاجِرًا مُسْتَوْطِنًا، وَإِمَّا مُتَشَوِّقًا إِلَى رُؤْيَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمُتَعَلِّمًا مِنْهُ وَمُتَقَرِّبًا.
Makna hadits tersebut ialah bahwa pada prinsipnya iman itu (tidak berubah) dari dulu sampai seterusnya tetap seperti semula. Oleh karena itu, orang² terdahulu (di zaman Kanjeng Nabi masih bersama para shahabat di al-Madinah), setiap mereka yang dikaruniakan iman yang murni dan keislaman yang jernih, berduyun² datang ke al-Madinah dengan tujuan:
Hijrah dan menetap disana, atau mereka datang disebabkan oleh rasa rindu yang amat dalam, ingin memandang wajah serta bertemu dengan Baginda Nabi utk menimba ilmu pengetahuan agama dan juga agar senantiasa dekat dengan Beliau.
ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ فِي كُلِّ وَقْتٍ إِلَى زَمَانِنَا؛ لِزِيَارَةِ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالتَّبَرُّكِ بِمَشَاهِدِهِ وَآثَارِهِ، وَآثَارِ أَصْحَابِهِ الْكِرَامِ، فَلَا يَأْتِيهَا إِلَّا مُؤْمِنٌ. هَذَا كَلَامُ الْقَاضِي. انتهى.
Kemudian dimasa-masa keberikutnya sampai zaman kita sekarang ini (yakni dimasa imam Nawawi masih hidup), kaum muslimin silih berganti ziarah ke al-Madinah, untuk berziarah ke maqam yang mulia Kanjeng Nabi, bertabarruk dengan menapak tilasi tempat-temoat yang bersejarah yang memenuhi penjuru al-Madinah. Dan orang-orang yang ziarah ke al-Madinah bisa dipastikan seluruhnya adalah orang-orang yang beriman.
--
Jadi KESIMPULANNYA pengertian sabda Rasulullah, "Iman itu kembali ke Madinah" sebagaimana ular kembali ke sarangnya dapat DIMAKNAI dengan MAKNA MAJAZ yakni KERINDUAN untuk mendatangi Rasulullah dan pada zaman sekarang adalah MENDATANGI Rasulullah ketika menunaikan ibadah haji, umrah maupun waktu lainnya yang dikhususkan.
Contohnya Ibn ‘Asakir meriwayatkan dari Bilal radhiyallahu ‘anhu dengan sanad jayyid (kemungkinan shahih, minimal hasan) bahwasanya setelah Bilal menginjak tanah Syam ; daerah Daroya, dia melihat nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam mimpinya dan bertanya ”Sombong sekali kamu, ya Bilal. Seharusnya engkau berziarah dulu ketempatku , maka hati-hatilah engkau, hidupmu akan resah dan gelisah” . Lalu, dia menaiki kudanya menuju Madinah, setelah sampai dia, pergi kekuburan nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan menangis ; mencium kuburan Rasullah.
Kisah sahabat Bilal ini diriwayatkan di antaranya oleh Imam as-Samanhudi dalam Wafa’ul Wafa’ (4/1405) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq/Sejarah Damaskus (7/137).
Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap datang dari perjalanan.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ فِي الْمَسْجِدِ، ثُمَّ يَأْتِي النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُ يَدَهُ الْيَمِينَ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَسْتَدْبِرُ الْقِبْلَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ.
“Dari Nafi’, bahwa apabila Ibnu Umar datang dari suatu perjalanan, ia menunaikan shalat dua raka’at di Masjid, lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membelakangi kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma”.(Al-Qadhi Ismail al-Baghdadi, Fadhl al-Shalat ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal. 84.)
Imam Ahmad dengan sanad yang baik (hasan) menceritakan dari Al-Mutthalib bin Abdillah bin Hanthab, dia berkata : “Marwan bin al-Hakam sedang menghadap ke arah makam Rasulullah -shallallahu alayhi wa sallam-, tiba-tiba ia melihat seseorang sedang merangkul makam Rasulullah. Kemudian ia memegang kepala orang itu dan berkata: ‘Apakah kau tahu apa yang kau lakukan?’. Orang tersebut menghadapkan wajahnya kepada Marwan dan berkata: ‘Ya saya tahu! Saya tidak datang ke sini untuk batu dan bata ini. Tetapi saya datang untuk sowan (silaturahmi) kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-’. Orang itu ternyata Sahabat yang paling senior yakni Abu Ayyub Al-Anshari -radliyallahu anhu-. (Diriwayatkan Imam Ahmad, 5;422 dan Al-Hakim, 4;560)
Lalu ada kabar upaya pemalsuan kitab Al Adzkar karya Imam An Nawawi dengan "MENGGANTI" kesunnahan ZIARAH MAKAM Rasulullah menjadi ZIARAH MASJID Rasulullah dan "menghilangkan" kisah Salaf bertawasul di sisi makam Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/07/30/pemalsuan-al-adzkar/
Salah satu bentuk kejahatan adalah upaya pemalsuan kitab-kitab para ulama terdahulu yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran atau paham mereka.
Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah hal 5-6 menyampaikan bahwa firqah Wahabi yakni orang-orang yang meneruskan KEBID'AHAN ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206H), mereka melarang atau mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh umat Islam sebagai sebuah kesunnahan seperti mereka mengharamkan mendatangi (menziarahi makam) Rasulullah adalah AKIBAT mereka TAQLID mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah (W 728H).
***** awal kutipan *****
فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه، وهو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم، وخالفوهم فيما ذكر وغيره
Mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta berselisih dalam kesepakatan-kesepakatan lainnya.
قال ابن تيمية في فتاويه: وإذا سافر لاعتقاد أنها أي زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم طاعة، كان ذلك محرما بإجماع المسلمين، فصار التحريم من الأمر المقطوع به
Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan bahwasanya mengunjungi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai sebuah bentuk ketaatan, maka perbuatan tersebut hukumnya haram dengan disepakati oleh umat Muslim. Maka keharaman tersebut termasuk perkara yang harus ditinggalkan.”
****** awal kutipan ******
Ulama panutan atau rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah TERJERUMUS melarang atau mengharamkan mendatangi (menziarahi kubur) Rasulullah, salah satunya adalah AKIBAT memahami perkatan Imam Malik secara SHAHAFI (otodidak) dan KEKELIRUAN terjadi karena dipahami dengan MAKNA DZAHIR.
Berikut pendapat atau fatwa Ibnu Taimiyah dengan PENEGASAN "demi bapak dan ibuku" di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 yang melarang atau mengharamkan mendatangi (menziarahi kubur) Rasulullah berdalilkan atau "menyalahgunakan" perkataan atau "ungkapan" dari Imam Malik.
Ibnu Taimiyah berkata
بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي .
“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kuburnya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku .“
Imam Malik dengan perkataannya “aku membenci kata-kata, Aku menziarahi kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam" tidak bermaksud mengingkari sunnah tentang mendatangi (menziarahi kubur) Rasulullah.
Imam Malik adalah orang yang sangat menghormati dan memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah Ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dengan kaki hewan (kendaraan)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H., Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).
Rasa malu Imam Malik selain menghormati dan memuliakan Rasulullah, Beliau meyakini bahwa Rasulullah dan kaum muslim yang telah meraih maqamat (kedudukan atau derajat) dekat dengan Allah seperti para Wali Allah (kekasih Allah) atau para Shiddiqin maupun Sholihin walaupun mereka telah wafat, tetap hidup seperti para syuhada dan para Nabi yang ditemui oleh Rasulullah ketika Mi'raj.
Oleh karena penghormatan dan keyakinannya tersebut Imam Malik membenci perkataan “menziarahi kubur Rasulullah” dan menyukai mengatakannya seperti dengan “mendatangi Rasullah”
Jadi adalah fitnah bagi orang-orang yang menyandarkan perkataan kepada Imam Malik bahwa Beliau membenci atau melarang ziarah kubur Rasulullah
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupakan ijma’ para ulama
Begitupula DITENGARAI (diduga) "MENGGANTI" kesunnahan ZIARAH MAKAM Rasulullah menjadi ZIARAH MASJID Rasulullah adalah akibat TAQLID mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah yang melarang melakukan perjalanan jauh (Safar) dengan niatan untuk semata-mata ziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (bukan maksud bersafar untuk mengunjungi masjid Nabawi)
Ibnu Taimiyah berkata,
***** awal kutipan *****
“Jika seseorang mendatangi masjid Nabawi, maka ia dianjurkan memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga pada dua sahabat beliau –Abu Bakr dan ‘Umar-, sebagaimana yang dilakukan para sahabat.
Namun jika ia melakukan perjalanan jauh (Safar) dengan niatan untuk semata-mata ziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan maksud bersafar untuk mengunjungi masjid Nabawi, maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Para imam dan kebanyakan ulama menilai niatan untuk mengunjungi semata-mata pada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah disyari’atkan dan tidak pula diperintahkan.” (Majmu’ Al Fatawa, 27: 26-27).
***** akhir kutipan *****
Ibnu Taimiyah membantah pendapat para ulama yang membolehkan melakukan perjalanan jauh (safar) untuk ziarah ke kuburan orang sholeh sebagaimana contoh tulisan mereka pada https://rumaysho.com/2250-wisata-spiritual-ke-kuburan-wali.html
Ibnu Taimiyah berkata
***** awal kutipan *****
“Mengenai hadits ‘tidaklah diikat pelana (bersafar) selain pada tiga masjid", di dalamnya berisi larangan bersafar ke selain tiga masjid (masjidil haram, masjid nabawi dan masjidil aqsho).
Jika ke masjid selain tiga masjid tersebut saja dilarang, maka ke tempat lainnya LEBIH JELAS terlarangnya.
Karena beribadah di masjid tentu lebih utama dari tempat selain masjid atau selain rumah.
***** akhir kutipan *****
Jadi mereka terjerumus melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta'ala dan Rasulullah yakni mereka melarang (mengharamkan) mengadakan SAFAR (perjalanan jauh) untuk menziarahi Rasulullah maupun para Wali Allah AKIBAT MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka KELIRU dalam berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum) BERDALILKAN seperti,
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Tidak boleh diadakan perjalan jauh (safar) kecuali kepada tiga masjid; masjidku ini dan masjidil haram dan masjid Al Aqsha”. (HR Bukhari dan Muslim)
Lalu mereka memotongnya menjadi dua bagian yakni,
"dilarang melakukan perjananan jauh”
kecuali
“hanya untuk tujuan tiga masjid tersebut”.
Hadits tersebut tentu bukanlah larangan mengadakan perjalanan jauh (safar) secara umum termasuk larangan mengadakan perjalanan jauh untuk ziarah kubur karena kalau hadits tersebut merupakan larangan mengadakan perjalanan jauh (safar) secara umum maka terlarang pula untuk mengadakan perjalanan jauh (safar) terkait dengan menuntut ilmu, berdagang, wisata, berobat, berkunjung kepada saudara (silaturahhim) dan keperluan lainnya.
Lalu mereka "meralat" larangan Rasulullah tersebut menjadi larangan perjalanan jauh ke tempat untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah sebagaimana pendapat ahli (membaca) hadits mereka, Albani (W 1420 H) dalam “Silsilah Ahadits adh-Dhaifah” 1/124, no: 47 ketika membela ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah (W 728 H) sebagaimana contoh tulisan mereka pada https://almanhaj.or.id/2926-membongkar-kebohongan-terhadap-syaikhul-islam-ibnu-taimiyah-1.html
***** awal kutipan *****
Perhatian: banyak orang menyangka bahwa Syeikhul Islam Ibnu Iaimiyyah dan orang-orang yang sejalan dengannya di kalangan salafiyin melarang ziarah kubur nabi.
Ini merupakan kedustaan dan tuduhan palsu. Tuduhan seperti ini bukanlah perkara yang baru.
Orang yang mau menelaah kitab-kitab lbnu Taimiyyah akan mengetahui bahwa beliau mengatakan disyariatkannya ziarah kubur nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam DENGAN SYARAT tidak diiringi dengan kemungkaran-kemungkaran dan kebid’ahan-kebid’ahan seperti,
bepergian jauh (safar) ke sana, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Yang dikecualikan dalam hadits ini bukanlah masjid saja sebagaimana persangkaan kebanyakan orang, tetapi setiap tempat yang dijadikan taqarrub kepada Allah, baik berupa masjid, kuburan, atau selainnya.
***** akhir kutipan *****
Jadi ahli (membaca) hadits Albani berpendapat bahwa Ibnu Taimiyah tidak melarang ziarah kubur Rasulullah namun melarang ziarah kubur jika diikuti dengan kemungkaran atau kebid'ahan yakni bepergian jauh (safar) untuk ziarah kubur Rasulullah.
Kesimpulannya mereka berpendapat bahwa bepergian jauh (safar) untuk ziarah kubur Rasulullah adalah sebuah kemungkaran atau kebid'ahan dan artinya ziarah kubur Rasulullah hanya boleh bagi umat Islam yang tinggal dekat dengan makam Rasulullah atau perjalanan jauh (safar) untuk tujuan utama mendatangi masjid Nabawi dan barulah boleh sambil ziarah kubur Rasulullah.
Jika mereka melarang bepergian jauh (safar) ke semua tempat yang dijadikan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah maka apakah berarti mereka memperbolehkan atau bahkan gemar bepergian jauh (safar) ke tempat untuk menjauhkan diri dari Allah alias ke tempat maksiat ?
Mereka "meralat" larangan tersebut mengaitkan dengan hadits seperti,
Dari Abu Hurairah, ia berkata; “Aku berjumpa dengan Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary, lalu dia bertanya kepadaku: “Dari mana kamu ? jawabku: “Dari bukit Thur”, Dia berkata; “Seandainya aku mengetahui sebelum kepergianmu ke sana, niscaya engkau tidak akan jadi pergi ke sana, aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Padahal ada riwayat lainnya yang menjelaskan bahwa perjalanan ke bukit Thur adalah dalam rangka sholat di sana
Telah bercerita kepada kami Husain bin Muhammad telah bercerita kepada kami Syaiban dari Abdul Malik dari Umar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam ia berkata: Abu Bashrah Al Ghifari menemui Abu Hurairah saat ia tiba dari bukit thur, bertanya Abu Bashrah Al Ghifari: Dari mana kamu? Abu Hurairah menjawab: dari bukit Thur; aku shalat di sana. Berkata Abu Bashrah Al Ghifari: andai aku menemuimu sebelum kau pergi meninggalkannya pasti kau tidak pergi, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Binatang tunggangan tidak boleh diikat kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku, masjidil Aqsha. (Musnad Ahmad 22730)
Jelas dalam riwayat di atas bahwa Abu Hurairah ra mengadakan perjalanan untuk shalat di bukit Thur bukan untuk mengadakan perjalanan ziarah kubur dan larangan tersebut bukanlah perkara haram (dikerjakan dosa) namun terkait nilai keutamaannya semata.
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Muhammad dan aku telah mendengarnya dari Utsman bin Muhammad bin Abu Syaibah berkata; telah mencertiakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Ibrahim dari Sahm dari Qaza’ah dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah bersusah payah melakukan safar kecuali ke tiga masjid; masjidil haram, masjid Madinah dan masjidil aqsha.” Abu Sa’id berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengantar seorang laki-lai, lalu beliau bertanya: “Engkau mau kemana? ia menjawab, “Aku ingin pergi ke baitul maqdis”, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “sungguh, shalat di masjid ini lebih utama seribu kali shalat dari shalat di tempat lain kecuali masjidil haram” (Musnad Ahmad)
Hadits-hadits tersebut hanya ingin menjelaskan, bahwa seseorang tidak usah bercapai-capai melakukan perjalanan jauh ke sebuah Masjid demi mencari kemuliaannya, kecuali menuju tiga masjid di atas. Nilai ibadah di semua Masjid selain ketiga masjid di atas adalah sama.
Kendati demikian, kita masih boleh mengunjungi sebuah Masjid yang berada jauh dari kita atau bahkan di luar negeri untuk mengenang sejarahnya dan dapat mendapatkan keberkahan di sana.
Ibnu Hajar al-Haitamy menjelaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah tidak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena ta’dhim dan taqarrub dengan masjid tersebut kecuali tiga masjid yang tersebut dalam hadits. (Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 31)
Jadi, bukan berarti dilarang secara mutlaq semua perjalanan jauh (safar) selain kepada tiga masjid yang disebut dalam hadits tersebut namun hanyalah melarang bersusah payah mengadakan perjalanan untuk mendatangi masjid terkait dengan nilai keutamaan semata dan hukumnya pun tidak sampai haram (jika dilanggar berdosa)
Contohnya Rasulullah berpergian selain ke tiga masjid yang diutamakan.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan (dengan binatang tunggangan) , sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)
Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. (Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)
Begitupula selain "hilangnya" kisah Salaf bertawasul di sisi makam Rasulullah dari kitab Al Adzkar karya Imam An Nawawi, terjadi pula pada kitab tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan frman Allah Ta'ala surat An-Nisa [4] ayat 64.
Berikut kutipan dari kitab tafsir Ibnu Katsir yang masih memuat kisah Salaf bertawasul di sisi makam Rasulullah
***** awal kutipan *****
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah).
Aku telah mendengar Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa [4]: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu: “Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”
***** akhir kutipan *****
Kutipan di atas bersumber dari kitab tafsir Ibnu Katsir terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz 5, hal 283-284
Tangkapan layar (screenshot) dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf
Mereka menganggap firman Allah Ta'ala surat An-Nisa [4] ayat 64 hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup.
Jadi dalil yang berlaku secara UMUM namun oleh mereka dianggap KHUSUS.
Berikut kutipan penjelasan Prof, DR Ali Jum’ah tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum” telah diterbitkan kitab terjemahannya dengan judul ” Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ ” diterbitkan oleh penerbit Khatulistiwa Press
***** awal kutipan *****
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur’an, yang menjadi barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya sebab. Oleh karena itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih hidup, maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil yang menunjukkan hal itu.
Keumuman (kemutlakan) makna suatu ayat tidak membutuhkan dalil, karena ‘keumuman’ itu adalah asal. Sedangkan taqyid (mengikat ayat dengan keadaan tertentu) membutuhkan dalil yang menunjukkannya.
Ini adalah pemahaman ulama ahli tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, setelah menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu mengomentarinya dengan berkata “Banyak ulama dalam kitab Asy Syaamil menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”
***** akhir kutipan *****
Begitupula Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami berkata bahwa ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk dianjurkan datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk minta ampun dosa kepada Allah di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini (bertawasul dengan Rasulullah) TIDAK TERPUTUS dengan wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12)
Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, ulama dari mazhab Maliki juga mengingatkan (QS An Nisaa [4] : 64) dan kemudian berkata,
***** awal kutipan *****
Oleh karena itu, barang siapa yang mendatangi Beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) , berdiri di depan pintu Beliau, dan bertawassul dengan Beliau, maka ia akan mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji.
Allah Ta’ala telah berjanji untuk menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu Beliau dan meminta ampunan kepada Tuhannya.
Hal ini sama sekali tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allah dan RasulNya. “Kami berlindung diri kepada Allah dari halangan mendapatkan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam” (Ibnu al Hajj, Al Madkhal, 1/260)
****** akhir kutipan ******
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah dari kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke makam Rasulullah, agar peziarah membaca (QS An Nisaa [4] : 64), mengajak bicara Rasulullah dengan memakai ayat tersebut dan meminta kepada Beliau untuk dimintakan ampunan kepada Allah.
***** awal kutipan ******
Maka setelah peziarah membaca salam, doa dan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hendaknya ia berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS An Nisaa [4] : 64)
Aku datang kepadamu (Nabi shallallahu alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas dosa-dosaku, dan sebagai orang yang meminta syafaat melaluimu kepada Tuhanku. Aku memohon kepadaMu , wahai Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang menemui beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) ketika masih hidup.”
Setelah itu, peziarah berdoa untuk kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin
****** akhir kutipan *******
Imam an Nawawi, ulama dari kalangan Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata “Kemudian ia (peziarah) kembali ke tempat awalnya (setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami Abu Bakar dan satu hasta yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu ia bertawassul dari beliau kepada Allah. Sebaik-baik dalil dalam masalah ini adalah atsar yang diceritakan oleh Imam al Mawardi al Qadhi, Abu ath-Thayyib dan ulama lainnya (An Nawawi, Al Majmuu’, 8/256)
Sedangkan bagi umat Islam yang belum mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk mengobati KERINDUAN MENDATANGI Rasulullah secara fisik datang ke tempat mustajab di sisi Rasulullah untuk berdoa kepada Allah Ta'ala adalah dengan menjalankan sunnah Rasulullah agar doa inti yang kita panjatkan kepada Allah Ta'ala lebih mustajab maka kita disunnahkan diawali BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN berupa memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sholawat (menghadiahkan doa selamat bagi Rasulullah) sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Anas bin Malik radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.
KH. Maimoen Zubair berwasiat tentang pentingnya wasilah (Tawassul). Beliau mengingatkan bahwa, “yang termasuk orang yang tidak punya adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala itu nak, orang yang selalu berdo’a langsung minta yang diinginkan tanpa memuji Allah dahulu, tanpa wasilah menggunakan salah satu Asma’ul Husnahnya Allah tanpa wasilah kepada baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dahulu, sukanya langsung minta apa yang di inginkan”.
Begitupula kita bersholawat (doa keselamatan) kepada Rasulullah bukan berarti Rasulullah membutuhkan sholawat (doa keselamatan) dari umatnya.
Namun pada hakikatnya sholawat ADALAH amal kebaikan untuk sarana (wasilah) bersilaturahmi dengan Rasulullah.
Dengan kita bersholawat maka kita mendapatkan balasan salam atau doa keselamatan dari Rasulullah dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) di sisi Allah.
Rasulullah bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salam.(HR. An-Nasa’i Al-Hakim 2/421)
Begitupula mendatangi Rasulullah selain menziarahi kuburan Beliau bagi yang mampu adalah bertawassul dengan bersholawat kepadanya sehingga kita dikenal oleh Rasulullah
Hujjatul Islam Al Ghazali meriwayatkan
***** awal kutipan *****
Ada seorang laki-laki yang lupa membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Lalu pada suatu malam ia bermimpi melihat Rasulullah tidak mau menoleh kepadanya, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?”
Beliau menjawab, “Tidak.”
Dia bertanya lagi, “Lalu sebab apakah engkau tidak memandang kepadaku?”
Beliau menjawab, “Karena aku tidak mengenalmu.”
Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana engkau tidak mengenaliku, sedang aku adalah salah satu dari umatmu? Para ulama meriwayatkan bahwa sesungguhnya engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu mengenali anaknya?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Mereka benar, tetapi engkau tidak pernah mengingat aku dengan shalawat. Padahal kenalku dengan umatku adalah menurut kadar bacaan shalawat mereka kepadaku.”
Terbangunlah laki-laki itu dan mengharuskan dirinya untuk bershalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, setiap hari 100 kali.
Dia selalu melakukan itu, hingga dia melihat Rasululah lagi dalam mimpinya.
Dalam mimpinya tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sekarang aku mengenalmu dan akan memberi syafa’at kepadamu.” Yakni karena orang tersebut telah menjadi orang yang cinta kepada Rasulullah dengan memperbanyak shalawat kepada Beliau…
***** akhir kutipan *****
Berikut contoh riwayat yang menegur seseorang yang bersusah payah mendatangi Rasulullah karena bersholawat kepada Rasulullah dapat dilakukan di mana saja.
Dari Ali bin Al Husain Radhiallahu’anhu menuturkan, bahwa ia melihat seseorang masuk kedalam celah-celah yang ada pada kuburan Rasulullah, kemudian berdo’a, maka ia pun melarangnya seraya berkata kepadanya:, “Maukah kamu aku beritahu sebuah hadits yang aku dengar dari bapakku dari kakekku dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Beliau bersabda:
“لا تتخذوا قبري عيدا، ولا بيوتكم قبورا، وصلوا علي فإن تسليمكم يبلغني حيث كنتم”
“Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai ied, dan janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan ucapkanlah doa salam untukku, karena doa salam kalian akan sampai kepadaku dari mana saja kalian berada” (diriwayatkan dalam kitab Al Mukhtarah).”
Para ulama menjelaskan bahwa sabda Rasulullah “janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai ‘ied” bukanlah larangan sering menziarahi kuburan Rasulullah atau larangan mendatangi Rasulullah namun sebaliknya yakni anjuran untuk memperbanyak mendatangi Rasulullah karena makna sebenarnya “janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai ‘ied” bukan dalam makna dzahir namun dalam makna majaz (makna kiasan atau metaforis) yakni “janganlah kalian mendatangiku (menziarahiku) sekali atau dua kali dalam setahun seperti ‘ied”
Sedangkan terhadap para Syuhada, Rasulullah mencontohkan menziarahi mereka sekali setahun.
Rasulullah berziarah ke makam syuhada’ Uhud pada setiap tahun. Dan ketika Beliau sampai di lereng gunung Uhud beliau mengucapkan dengan suara keras “semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu berkat kesabaranmu, maka alangkah baiknya tempat kesudahan”. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin ‘Affan juga melakukan seperti tindakan Nabi tersebut”.
Tentulah Rasulullah yang lebih mulia daripada para Syuhada tidak terlarang atau boleh untuk didatangi (diziarahi kuburannya) lebih dari sekali dalam setahun.
Al-Qadli bin ‘Iyyadl dan Ibnu Hajar mengatakan, sebagaimana dikutip oleh al-Khafaji didalam kitab Nasimur Riyadl (3/502), maksudnya adalah janganlah kalian menjadikannya sebagai ‘Ied didalam setahun hanya sekali, tetapi berbanyaklah menziarahinya (mendatanginya)
Syaikh Zakiyuddin al-Mundziri berkata: kemungkinan pengertian yang dikehendaki dari hal tersebut adalah dorongan memperbanyak menziarahi Nabi shallallahu alaihi wasallam, tidak melalaikan hingga tidak diziarahi kecuali pada sebagian waktu seperti hari raya (‘Ied), dimana hari raya tidak datang didalam 1 tahun kecuali dua kali.
Jadi wujud dari mencintai Rasulullah dengan bersilaturahmi mendatangi Rasulullah sehingga dikenal oleh Rasulullah selain menziarahi kuburannya adalah dengan memperbanyak shalawat kepada Beliau.
Al Habib Umar bin Hafidz menasehatkan bahwa “tanda kerinduan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sungguh-sungguh di dalam diri seseorang akan menjadikannya benar-benar mengikuti Rasulullah dan banyak bersholawat padanya”
Jadi amat merugilah bagi mereka yang mengaku mencintai Rasulullah namun bersholawat hanya pada saat sholat wajib maupun sholat sunnah saja.
Rasulullah bersabda “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya (pada hari kiamat)”. (HR Bukhari 5702)
Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : ”Orang yang paling dekat denganku nanti pada hari kiamat, adalah mereka yang paling banyak membaca shalawat untukku” (HR. Turmudzi)
Ubayy bin Ka’ab Al-Anshary ra bertanya, “Ya Rasulullah, aku senantiasa membaca shalawat untukmu. Sebaiknya, berapa banyak lagi aku membaca shalawat untukmu? Nabi menjawab, “Terserah kamu.” Ubay bertanya lagi, “Bagaimana kalau seperempat waktu dari setiap hariku?” Nabi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah, itu lebih baik.” Ubay melanjutkan bertanya, “Sepertiga?” Nabi lagi-lagi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah, itu lebih baik.” Ubay kembali bertanya, “Setengah?” Nabi menjawab, “Sesukamu, jika ditambah akan lebih baik.” Ubay bertanya lagi, “Bagaimana jika kutambah dua pertiga?” Nabi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah lebih baik.” Ubay melanjutkan, “Ya Rasulullah, akan kugunakan seluruh hariku untuk bershalawat kepadamu.” Nabi menjawab, “Kalau begitu, keinginanmu akan dicukupi dan dosamu akan diampuni Allah Subhanau wa Ta’ala.”
Sebaliknya Rasulullah merindukan, mencintai dan mengenal umatnya walaupun belum bertemu karena tidak hidup pada zaman Salafush Sholeh namun gemar mendatangi Rasulullah.
Abu Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”.
Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no 2744 dengan sanad yang shahih.)
Rasulullah menyebut seluruh umat Islam yang gemar mendatangi Rasulullah baik secara fisik ke Madinah atau bertawassul dengan Rasulullah seperti dengan sholawat TETAPI belum pernah bertemu dengan Rasulullah sebagai SAUDARA beriman yang kelak mendatangi telaga Rasulullah.
Dari Ahmad dari Anas radhiyallahu anhu katanya : Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Aku sangat suka untuk bertemu dengan saudara-saudaraku yang beriman denganku walaupun mereka tidak pernah melihatku”
Siapakah saudara-saudara dari Rasulullah?
Rasulullah menjawab dan menjelaskan kepada para Sahabat ketika mensunnahkan ziarah ke pemakaman Baqi
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda: “Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita”.
Para Sahabat bertanya, “Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab dengan bersabda: “Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud”.
Sahabat bertanya lagi, “Bagaimana kamu dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umatmu wahai Rasulullah? “
Beliau menjawab dengan bersabda: “Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu?”
Para Sahabat menjawab, “Sudah tentu wahai Rasulullah.’
Beliau bersabda lagi: ‘Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. (HR Muslim 367 atau versi Syarh Shahih Muslim 249)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830